ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Sang jagoan mendapat julukan "orang gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena. Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan jagoan ini, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya seperti disebutkan diatas.
Leo berjasa besar membangun kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di era 1950 dan 1960an. Saat itu AURI adalah Angkatan Udara terkuat di belahan bumi bagian selatan. Jauh lebih kuat dari Australia, apalagi Singapura dan Malaysia.
Sosoknya dikenal disiplin dan punya kemampuan keras. Dia tak malu bekerja di pelabuhan supaya bisa tetap sekolah.
Kesempatan emas untuk Leo muda datang di tahun 1950. Pemerintah Indonesia mengirim 60 penerbang untuk dididik di Trans Ocean Airlines Oakland Airport (Taloa) di Amerika Serikat. Leo membuktikan kelasnya.
Selama mengikuti pendidikan penerbang di Taloa Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator. Menyandang lulusan terbaik merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mengandung arti bagi dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik setiap menjalankan tugas.
Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya mendapat kesempatan Bersama 18 temen-temennya, untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA.
Sesampainya kembali di tanah air selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma sebagai penerbang pesawat tempur merangkap instruktur Pesawat P-51 Mustang. Dia jadi legenda karena kepiawaian dan kenekatannya. Teman sesama pilot di dalam dan luar negeri sampai geleng-geleng kalau lihat Leo menerbangkan pesawat tempur.
Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan Leo Wattimena, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari "orang gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena.
Setelah kembali ke tanah air Indonesia tahun 1951, kemudian diangkat menjadi Letnan Muda Udara I dan ditempatkan di Komando Operasi di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga pada tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.
Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.
Indonesia membeli de Havilland DH-115 Vampire yang merupakan pesawat tempur bermesin jet pertama AURI. Lagi-lagi Leo jadi yang paling jago.
Dua tahun kemudian dia kembali dikirim ke Rusia untuk mempelajari jet tempur MiG 15 dan 17. Pesawat terbaik pada masa itu. Lalu dia ke Mesir untuk mempelajari aneka teknik pertempuran.
Karir Leo melesat secepat pesawat jet yang dikemudikannya. Mulai dari komandan skadron pesawat pancar gas hingga menjadi Panglima Angkatan Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara tahun 1962. Usianya saat itu baru 35 tahun dan sudah menjadi jenderal bintang satu.
Marah Besar
Komodor Leo Wattimena juga dikenal egaliter dan selalu memperhatikan para prajuritnya lebih dulu. Saat mempersiapkan misi penyerbuan Irian Barat, Leo melihat para prajurit cuma diberi makan tempe. Padahal mereka akan diterjunkan di belantara Irian dan belum tentu pulang dengan selamat.
Sementara itu, Leo melihat para jenderal yang cuma duduk-duduk di belakang meja enak-enak makan daging ayam.
Leo marah besar. Dibuangnya jatah makanannya sebagai bentuk protes untuk anak buah yang mau bertempur. Itulah Leo, pilot dan komandan jagoan yang sangat peduli pada prajurit rendahan.
Karier "didasikan"
Setelah Presiden Soeharto berkuasa, satu per satu Jenderal yang dianggap sebagai saingan atau membahayakan dikirim sebagai Duta Besar. Istilah Orde Barunya Didubeskan.
Mayjen Hartono, komandan Kko TNI AL (kini Marinir), dikirim sebagai Duta Besar di Korea Utara. Sementara Marsekal Muda Leo Wattimena menjadi Duta Besar di Italia. Mayjen Sarwo Edhie Wibowo awalnya juga hendak dibuang ke Moscow, namun tidak jadi. Belakangan Sarwo didubeskan di Korea Selatan.
Semangat Leo langsung hilang. Menjadi Dubes berarti harus berpisah dengan pesawat tempur kesayangannya. Seumur hidup yang dicita-citakan Leo hanya menjadi pilot tempur bukan diplomat berdasi.
Setelah masa dinasnya habis, Leo kembali ke Indonesia. Kondisi kesehatannya terus memburuk. Dia meninggal dunia dalam usia 47 tahun. Jenazah Marsekal Muda yang berani itu dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Nama Leo Wattimena diabadikan sebagai nama Lapangan Udara di Morotai.
sumber: merdeka.com | tni-au.mil.id
0 Response to "Marah BESAR..! : Lihat Jenderal Makan DAGING, Prajurit Cuma Dikasih TEMPE"
Post a Comment