ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Wajah pemuda ini tampan. Hidungnya bangir. Kulitnya putih. Penampilannya gagah dan kinyis-kinyis di eranya tumbuh kembang. Bahkan, sebagian orang menganggapnya memiliki darah Belanda.
Dia terlahir dengan nama Elias Daniel Mogot. Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Daan Mogot. Sebuah nama jalan yang menghubungkan Jakarta, mulai dari perempatan Grogol, Jakarta Barat hingga Tangerang, Banten.
Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember 1928, ini dibawa oleh orang tuanya ke Jakarta saat berumur 11 tahun. Daan Mogot adalah anak dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Ayahnya kala itu merupakan Kepala Penjara Cipinang.
Perwira Usia 17 Tahun
Dia mulai masuk dunia militer ketika Jepang menduduki Indonesia di tahun 1942. Saat itu usianya 14 tahun, walaupun sebenarnya ia tak memenuhi syarat karena usianya belum genap 18 tahun. Namun otaknya terbilang cemerlang serta beragam prestasi selama pendidikan militer, mengantarkannya menjadi instruktur Pembela Tanah Air (Peta) di Tabanan, Bali. Di sini pulalah dia bertemu dengan dua temannya, Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Pemikiran tentang nasib bangsa kerap mereka bincangkan guna mencari jalan keluar.
Baca Juga: NGERII..! Inilah Pasukan HANTU KALIMANTAN Yang Bikin Belanda Keok dan Lari Tunggang Langgang..
Karier Daan Mogot yang moncer membawanya ke Jakarta. Dia ditempatkan sebagai staf di Markas Besar Peta di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Saat kejatuhan Jepang dan selepas Proklamasi 1945, Daan Mogot bergabung dengan pemuda lainnya mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Mayor. Uniknya saat itu Daan Mogot baru berusia 17 tahun namun sudah berpangkat Mayor.
Mendirikan Akademi Militer
Di usia yang baru belasan tahun itu pula, Daan Mogot mencetuskan gagasan membentuk Akademi Militer. Gagasan ini muncul dari pengalamannya menjadi instruktur di Bali. Tujuannya tak lain untuk membentuk perwira dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Daan Mogot berkeinginan mencurahkan pengetahuannya, apa yang dulu didapatkannya saat masih dibawah PETA. Ia ingin mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara. Dan keinginan besarnya itu akhirnya terwujud dengan berdirinya Akademi Milter di Tangerang 18 November 1945 bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) saat ia berusia 17 tahun dengan calon Taruna pertama yang dilatih berjumlah ada 180 orang.
Tragedi Hutan Lengkong
Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak serta-merta mengakui begitu saja kemerdekaan Indonesia. Pada 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja selaku Kepala Staf Resimen menerima informasi jika pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan hendak mengambil alih markas senjata Jepang di Lengkong. Agresi militer yang provokatif ini pun dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan Resimen IV di Tangerang.
Baca Juga: Mengharukan..! Perjuangan Sang Jenderal KURUS Kering, Bermantel LUSUH, dan Berparu-Paru SEBELAH
Untuk melakukan pengamanan dan mendahului jangan sampai senjata Jepang jatuh ke tangan sekutu, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer Akademi Tangerang dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat juga beberapa perwira.
Awalnya pertemuan dengan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayor Abe berjalan mulus. Bahkan tentara Jepang ini terkesan dengan cara Daan Mogot bersama kawan-kawannya. Adapun yang menemui Mayor Abe adalah Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan Alex Sajoeti, seorang taruna yang fasih berbahasa Jepang kala itu.
Kericuhan Terjadi
Mayor Abe ternyata keberatan untuk memberikan begitu saja senjata. Dengan alasan belum mendengar perintah dari atasannya untuk pelucutan senjata, Abe meminta waktu tanpa menghentikan perundingan. Sementara perundingan berjalan, Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo ternyata sudah mulai para taruna untuk memasuki barak senjata Jepang.
Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana sumbernya. Letusan senjata itu pun disusul oleh rentetan senapan mesin pasukan Jepang. Dalam waktu singkat perang yang tak seimbang tak dapat dihindarkan. Sebagian tentara Jepang yang sudah menyerahkan senjatanya kembali merebut senjata dari para taruna. Dikisahkan terjadi lemparan granat dan pertempuran satu lawan satu menggunakan sangkur.
Baca Juga: Dentasemen Harimau: Rajanya Pasukan Khusus Indonesia Paling MISTERIUS
Melihat kejadian yang tak pernah terbayangkan itu, Mayor Daan Mogot keluar dari meja perundingan. Dia berusaha menghentikan pertempuran itu namun gagal. Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan asrama tentara Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal sebagai hutan Lengkong.
Markas Jepang Tempat Pertemuan |
Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Ditambah lagi, sering kali peluru yang dimasukkan tidak sesuai dengan spesifikasi senjata sehingga menyebabkan macet saat dipakai.
Gugur
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang selanjutnya bertindak penuh kebuasan. Mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Para taruna yang masih hidup disandera Jepang dan disuruh menggali kubur bagi teman-temannya yang meninggal.
Mendengar kabar itu, Pimpinan Resimen Tangerang kemudian meminta izin kepada Jepang untuk mengambil jenazah para pejuang. Setelah diizinkan, jenazah-jenazah tersebut kemudian dikebumikan di dekat penjara anak-anak Tangerang.
Empat hari setelah Tragedi Lengkong tepatnya pada 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenazah yang gugur dalam pertempuran itu. Seorang taruna bernama Soekardi yang mengalami luka berat akhirnya menghembuskan napas di Rumah Sakit Tangerang.
Monumen
Untuk mengenang Tragedi Lengkong, dibangun sebuah monumen yang terletak di Lengkong Wetan, Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan dengan sebuah rumah tua bercat hijau. Sementara itu di TMP Taruna dibangun pula sebuah monumen senada di mana tertulis kejadian Lengkong lengkap dengan nama-nama ke-48 pahlawan. Sedihnya, dari ke-48 nama ini, tiga pahlawan di antaranya tidak diketahui identitas mereka. Di batu nisan mereka hanya tertulis 'tak dikenal'.
Daan Mogot tutup usia pada tanggal 25 Januari tahun 1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di usia 17 tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat ini. Kisah kepahlawanan Daan Mogot menjadi tamparan bagi kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk negerinya. Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu bahwa sejarah negeri ini bermula dari kaum pemuda.
Baca Juga:
Sumber: merdeka.com | newsliputan6.com
0 Response to "Mengenal Direktur AKADEMI MILITER Tangerang, PERWIRA Berusia 17 Tahun. GUGUR Diberondong Peluru"
Post a Comment